Minggu, 23 Maret 2014

Kekuatan Doa

Pernah mengalami kecewa, sedih, dan bahagia? Pasti semua manusia pernah mengalaminya. 
Semua perasaan manusia diciptakan oleh Rab Nya untuk  menyadarkan manusia untuk berpikir dan bersyukur atas semua keadaan yang diberikan oleh Allah. Semua kejadian pada setiap yang kita alami pasti ada maksud tertentu.

Well, yang perlu diingat..Ketika kerikil ada di kehidupan kita, mengingatkan kita untuk lebih dekat pada Allah. Tidak hanya pada saat bahagia saja tapi pada saat sedih sekali pun manusia harus lebih dekat dengan Tuhan Nya. Rencana yang di buat manusia bijak nya diperkuat lagi dengan doa. Doa memang kekuatan yang dasyhat buat  manusia. Percaya dengan doa "Akan indah pada waktunya"


Dan berfirman Tuhanmu "Memohonlah (mendoalah) kepada-Ku, Aku pasti perkenankan permohonan (doa) mu itu."  (Al- Mukmin : 60)

Minggu, 01 Desember 2013

Ketika Rindu itu datang...

Dear calon suamiku...

Aku lupa, bahwa dulu kamu adalah asing bagiku..
Begitu juga aku..tapi pada saat ini semua keasingan itu semakin menjauh pergi..kita semakin satu..semakin satu dengan doa..Apa yang mau kuingkari ketika rasa sayang mu padaku semakin nyata...apa yang harus ku sanggah lagi jika setiap kelebihanmu melengkapi ku dan setiap kekuranganmu membuat ku semakin bersyukur memilikimu dan semakin menyayangimu..

Saat ini jarak yang memisahkan kita..
Kerinduaanku..ya aku rindu
Melatihku untuk sabar dan banyak bersyukur akan hidup ini akan kasih Allah kepada hidup kita..
Kasih Allah itu nyata..nyata dalam melindungi kisah kita..

Ketika rindu itu datang...
aku selalu berdoa setiap sujudku..."Lindungi dia ya Rabb..Ya Allah jangan sampai rinduku pada nya melebihi rinduku pada Mu...jagalah rasa cinta dan sayang ini karena-Mu..hingga kami mencapai SurgaMu"
Semoga doaku selalu memeluk langkahnya..

Cuma lewat tulisan dan doa aku bisa utarakan rindu ini..
Semoga kita selalu dikuatkan oleh doa kita masing..masing..
"Jaga dia ya Rabb..Jaga dia"

Ur sweet heart,

PS: Y.L.U.T


Selasa, 26 November 2013

Jagooan dalam hidup saya....

"Jodoh Pasti Bertemu" itu lagu yang selalu saya suka sejak semester kemarin...
Percaya... Ya...jelas sangat percaya Akan keajaiban doa...
Ketika kita meminta...ternyata...dibelahan bumi lain nya dia Ikut meminta juga...
Doa...Dari itulah kami dipertemukan...
Awal pertemuaan kami sekitar 2005..ketika itu hanya mengenal dia sebagai seorang Teman Dari seorang Teman ... Memang Belum ada rasa kagum...atau apapun itu...seperti perahu kertas yang dihanyutkan akhirnya menemukan tempat utk berlabuh...

Agustus..ya tepatnya 15 Agustus 2013...
menjadi bulan yang terindah bagi diri ini ketika semua doa terjawab...
Dia yang tidak begitu saya kenal
Dia datang menemui bapak...
Memang tak nampak kebahagian ini...tapi hati ini menangis bahagia..
Dulu...memang tidak ada rasa kagum..tapi setelah melalui proses yg dibilang secara islami...
SubhanaAllah...perasaan yg luar biasa muncul untuk calon imam saya ini...

Kami sedang menuju proses selanjutnya...
Menuju "Pernikahan" yang Akan membuka gerbang jannah...
Ya Allah mudah kan jalan cerita Kami...
"Dia" yang namanya memiliki arti kasih sayang Allah SWT...betul-betul menjadi hidayah...Rahmat ...dalam hidup ini...ya dia adalah jagoaaan saya...

Kamis, 31 Mei 2012

The Contribution of Islamic Ethics in Accounting Practice




The failure of Enron Corporation in 2001, which followed the failure of Arthur Andersen in 2002, is one of example the failure of accounting regulation and accounting ethic. The financial scandals in the USA and some other countries, suchas Australia, dramatically demonstrated how the efficiency of financial markets is based on assumptions of trust and ethical behaviour of corporate managers. The collapse of companies such as Enron, WorldCom and Global Crossing in the USA, HIH Insurance and OneTel in Australia, and Parmalat in Italy has led to a loss of confidence by the investing public in the system of financial reporting and accountability.[1] These prove that the lack of ethic in accountant and still have egoism in getting money or profit oriented. It also describes that education system that produces the accountants failed for educating them. Therefore, the education system should be added by the concept of religion (din) for developing the accounting ethics.
One of effort to establish a code of Islamic ethical conduct for accountants was developed by the Accounting and Auditing Organizations of Islamic Financial Institutions (AAOIFI) in 1998.  The code presents an ethical framework for accountants derived from Islamic Shari’a rules and principles.[2] It consists of three sections; namely, the shari’ah foundations of accounting ethics, the principles of ethics for accountants, and the rules of ethical conduct for accountants. This ethical framework can be guidance for accountants in doing their accountability.  The sha’riah foundations of accountant ethics stipulate on the Islamic foundation; namely, Integrity, Vicegerency of humanity on earth, sincerity, piety, righteousness, accountability before Allah.
Although there is a guidance from Accounting and Auditing Organizations of Islamic Financial Institutions (AAOIFI), many Accountants still have the problems of accountability especially ethics in terms of doing in accounting practical. Many Accountants placed their concept of accountability and their integrity in the profit oriented. They only just focus on getting profit or money. Thus, it also can appear the egoism of getting success in their life.
Accountants must realize that their responsibility to God, Allah SWT. Therefore, the principle integrity in Islam requires accountant to be competent and adequately qualified. In the Qur’an Allah requires that “Truly the best of men to employ is the man who is strong and trustworthy”.[3] It is also described in the principle of vicegerency that supreme authority is that Allah (Al-Qur’an, Al-Baqarah verse 30). Man’s ownership of property is not an end in itself, but a means to provide a decent life for him and his family, and society. Man should observe the commandments and Prohibitions of Allah, as Allah is the real owner of the property. Mankind is only a vicegerent of Allah and will be held accountable for the way he has acquired the wealth and how he/she used it.
The AAOIFI’s code of ethical conduct cannot be realized if it just becomes guidance for Accountants. The codes may be a way of putting added pressure on people to do things that are in the best of that particular company or profession.[4] It also can be realization if it becomes incorporated into the accounting curriculum both at the tertiary level as well as in the professional education. The model for integrating ethics into the accounting curriculum: devote half a semester of the introduction to Business course to general business ethics, integrate ethics into each and every accounting course throughout the curriculum, develop a capstone course at the senior level that deals with the complex issues of business responsibility and professional responsibility. [5]
The approach to ethics integration provides the student with both broad and specific exposure to business and accounting ethics. Society will get benefit from educated individuals with high ethical reasoning ability who are aware to ethical issues and who have developed the habit of careful reflection. This combination of ethical reasoning, sensitization and reflective thought are the seeds for building integrity, the central organization principle of ethical behavior.
 Islamic accounting course should have the objective to make students aware of emerging issues facing the accounting profession and accountants. The AAOIFI’s code of professional conduct can be used as a material to explain and expose students to the attributes of ethical awareness and principles from an Islamic perspective.[6] Thus, trough Islamic ethics in education can shape the generation with a good moral and reduce the manipulation of accounting practical.
Besides accounting curriculum, accountant must understand and apply about the legal principle of maslahah as the basis of setting proper priorities for the work. There are three areas which constitute the primary objectives of sharia’ah (maqasid al-shar’ah); namely, to educate the individual, to establish justice, and to realize benefit (maslahah) to the people. The majority of Islamic jurists are in agreement that there is no law in the whole of Shari’ah that does not seek to secure maslahah.
Maslahah means a cause, a means, an occasion or a goal which is good. It also means an affair or a piece of business which is conducive to good or that is for good.[7]  The principle of maslahah can contribute to establishing guidelines for moral judgement. Maslahah also means benefit or interest.[8] The codes of professional conduct should outline how to achieve public interest and in the case of conflict, how to solve that conflict. There are three level of judgment to be used by accountants when resolving ethical conflicts.[9]
In the first level, whatever financial decision and accounting disclosures of business activities the public requires for living especially in terms of their life (self and family), property and intellect must be protected.[10] Rahman (2003) explained that any of business activities, which can influence these basic attributes must be disclosed and debated, not only in terms of their financial implications but also in terms of their essential social implications. He gives examples, business activities, which can endanger the lives of the people such as air and water pollution, which can damage property, and people lives.
In the second level, the protection of complementary public interests that presumes that any negligence or action, which may lead to difficulties but not total disruption to the public, must also be accounted Rahman (2003). For instance, the protection include involvement in, trading with or manufacture or sale of tobacco and alcohol which affect the health of public; involvement in fur trade, animal experimentation and exploitation which damage the lives of the animals; and trading or manufacture or sale of violent magazines and videos which instill bad moral behavior to the public. He urged that the public must be protected from these activities, and therefore accountants need to disclose the effect of the company’s activities of this nature, both in terms of their social and financial implications.
 In the third level, Rahman (2003) explained that the need to achieve embellishments refer to the interests whom, upon realization, lead to improvements and attainment of that which is desirable to the public. Therefore, accountants’ reports need to reflect such attributes as relevance, comprehensible, reliability, completeness, objectivity, timeliness, and comparability. He concluded that in the case where accountants face conflicts between protecting the essential public interests and the complementary public interest, the former should be given priority.
 Corporate Social Responsibility is one of example to elaborate the first level because accountants must disclosure about their financial implications in terms of their responsibility to the society. Accountant or Muhtasib in Islam is the one responsible for making sure that business is not harming the community. It was Muhtasib’s task, among other things, to ensure that business activities such as baking and tanning were situated in areas where they did not have a negative impact on the community through the emissions and smells they produced.[11] Furthermore, Kamla et al. (2006) explained that the Muhtasib was charged with checking that business were not disposing their waste in a way that was harmful to the community surrounding them.
Corporate must disclosure their financial reporting in terms of accounting for corporate Social Responsibility. It is one of action from ethics example, which describe the financial reporting in social perspective must be disclosure to avoid environmental drawback such as pollution. There are seven categories analyzed that disclosure namely; commitment to performance, quantified measures of performance (e.g. tons of CO2 emitted), identification of specified targets, performance against targets, future performance targets, acknowledgement of measures used within a management system, identification of social and environmental performance factors impacting on decision making or change processes.[12]
Corporate must identify and show good performance in terms of determining their objective, strategic planning, and decision policy. In this context accountant has a important role to disclosure the social and environmental factors that they give impact to decision making and process. Therefore, accountants must have a good accountability in terms of accountability to Allah and society.  The accounting for Corporate Social Responsibility (CSR) must be combined with the Islamic perspectives so that the performance of corporate can be clear in their financial or management decision in terms of accountant role.
Beside Corporate Social Responsibility, some areas need to be addressed by application of Islamic ethics, namely: stakeholder perspectives, the agency theory, earning management, and off balance sheet items.[13] The first area is stakeholder perspectives. According to Beekun and Badawi (2005), there are several criteria of relevance when examining Islamic ethical system from stakeholders’ perspective: justice and balance, trust and benevolence. Accountants must give transparent accounting information and provide full disclosures in reporting business transaction in permissible (halal) business ventures; fair wages to employees; provision of good and quality products to customer.
            The second area of Islamic ethics application is the agency theory. The current accounting practiced was adopted from western accounting systems entails is diametrically opposed to the value systems of the whole society. Some of the assumptions that underlie theories of the purpose of accounting information in western society are at variance of Islamic teaching. Baydoun and Willet (1997) explained that a current example is an agency theory, the core of which is self-interest.
The Islamic view is that profit must be accompanied with the risk of loss and that relationship between capital provider and entrepreneur should be based on the principle of partnership. Islam recognizes the fact that the owners/ financiers of a firm have the right to make a profit, but not at the expense of the claims of various other stakeholders (Beekun and Badawi, 2005). These applications provide an indication of treating others with virtuous dealings. This kind of action will spread a strong tie of trust, brotherhood and cooperation that can level out the problem of greedy and injustice which are prevailing in principal and agent relationship.[14]
Earning management is third area of Islamic ethics application. Earning decision takes place when the accountant chooses the reporting methods and the estimates that do not accurately reflect their actual performance. Immoral accountants can use a variety of techniques to manage earnings for many different reasons. For instance, the business that approaching debt covenant violations are more likely to manage earnings. This practices start from the abuse of wealth by the wealthy people to exercise improper pressure over the needy, so as to retain the benefit of their wealth, they simply transact the receipt and payment of interest on loans provided to needy . This unfair dealing is absolutely forbidden in Islam which simply does not accept the concept of the ‘time value for money”. [15]
The fourth area of Islamic application is off balance sheet. Off balance sheet financing arrangements often involve the creation of an off-balance-sheet entity (OBSE) in the form of a joint venture, limited-liability corporation, partnership, or other unconsolidated entity.[16] It is often used to make a business look like it has far less liabilities or debts than it actually does. One of example case that related to the manipulation of OBSE is Enron through its Special Purpose Entities (SPEs). 
SPEs are one of types in off-balance-sheet accounting that move debt to a newly created company without having to report it in balance sheet. This practice violate the concept of Islamic ethics. Specifically, the two general objectives underlying the preparation of Islamic corporate reports are; social accountability and full disclosure. Therefore, the establishment of the justice to community required an accounting system to inform and disclose to the society that is explicitly orientated to the public interest ( Istislah).
In short, to answer in what extent Islamic ethics can contribute towards a more ethical accounting practice is depend on individual accountants. If accountants understand about the rules, committed and belief to their God, they will have a more ethical accounting practice. The important thing that accountants or Muhtasib must have responsibility is not only for themselves but also for God, Allah, as their responsibility for “hereafter”.


REFERENCES

[1] Jackling, et al. “Professional accounting bodies’ perceptions of ethical issues, causes of ethical failure and ethics education, Managerial auditing journal 22 (9), Deakin University, p:2
[2] AAOIFI. Code of Ethics for Accountants and Auditors of Islamic Financial Institutions, Bahrain, 1998, p:4
[3] Al Qur’an, Al Qasas verse 26
[10] Hooker, B., “Self-interest, ethics, and the profit motive”, Business Ethics, Cowton and Crisp, Oxford University Press, 2001, p: 38
[4] Carrol, R. “A Model for Ethical Education in Accounting” in Gowthorpe, C and Blake, J, Ethical Issues in Accounting (Ed.), Routledge London, 1998, p:166
[5] Abdul Rahim Abdul Rahman, Ethics in Accounting Education: Contribution of the Islamic Principle of Mashlahah, IIUM Journal of Economics Journal of Economics and Management, (2003), p: 44
[6] Abdul Rahim Abdul Rahman, An Introduction to Islamic Accounting Theory and Practice, CERT, 2010, p: 49
[7] Kamali, Principles of Islamic Jurispendence,  Adiwarna Utama, 2007, p:267
[8] Abdul Rahim Abdul Rahman, Ethics in Accounting Education: Contribution of the Islamic Principle of Mashlahah, IIUM Journal of Economics Journal of Economics and Management, (2003), p: 41
[9] Abdul Rahim Abdul Rahman, Ethics in Accounting Education: Contribution of the Islamic Principle of Mashlahah, IIUM Journal of Economics Journal of Economics and Management, (2003), p: 41
[10] Kamla et al., Islam, nature and accounting: Islamic principles and the notion of accounting for the environment, (2006), p:257
[11] Adams and Frost, “Accounting for ethical, social, environmental and economic issues: towards an integrated approach”,  Research Executive Summaries Series 2 (12), CIMA Australia, 2006, p: 3a
[12] Yunanda, R.A and Abd. Majid, N., “The Contribution of Islamic Ethics towards Ethical Accounting Practices”, Issues in Social and Environmental Accounting, 5 (1/2), (2011), p: 133 
[13] Yunanda, R.A and Abd. Majid, N., “The Contribution of Islamic Ethics towards Ethical Accounting Practices”, Issues in Social and Environmental Accounting , 5 (1/2), (2011), p: 134 
[14] Gambling, T and Abdel Karem, R.A. “Business and Accounting Ethics in Islam, Mansell, London, (1991), p:34
[15] Chandra, et al., “Enron-Era Disclosure of Off-Balance-Sheet Entities”, Accounting Horizons, 20 (3), (2006), p:231
[16] Giroux, G., “What went wrong? Accounting Fraud and Lessons from the Recent Scandals”, Social Research; winter 2008 ; 75, 4; Proquest Social Science Journals, p:1206

Minggu, 22 April 2012

Samarinda...my Tepian city...


Dear my city...

Although  I study abroad...I still remember my city in my heart beat...

I was born in this city...

All of my spirit is in this city... my family...my dad...my beautiful mom...my sister...n my lil bro...

miss u  all...

may be it's true that if we drink water from the river ...we will back in Samarinda..

I feel it...i will comeback for my city n my country...promise that ;)



Karena Kau Tulang Rusukku...Tulang rusuk tidak akan pernah tertukar...





Tiba-tiba bergetar ketika membaca cerita ini :


Sebuah senja yang sempurna, sepotong donat, dan lagu cinta yang lembut. Adakah yang lebih indah dari itu, bagi sepasang manusia yang memadu kasih? Raka dan Dara duduk di punggung senja itu, berpotong percakapan lewat, beratus tawa timpas, lalu Dara pun memulai meminta kepastian. ya, tentang cinta.
Dara : Siapa yang paling kamu cintai di dunia ini?
Raka : Kamu dong?
Dara : Menurut kamu, aku ini siapa?
Raka : (Berpikir sejenak, lalu menatap Dara dengan pasti) Kamu tulang rusukku! Ada tertulis, Tuhan melihat bahwa Adam kesepian. Saat Adam tidur, Tuhan mengambil rusuk dari Adam dan menciptakan Hawa. Semua pria mencari tulang rusuknya yang hilang dan saat menemukan wanita untuknya, tidak lagi merasakan sakit di hati."
Setelah menikah, Dara dan Raka mengalami masa yang indah dan manis untuk sesaat. Setelah itu, pasangan muda ini mulai tenggelam dalam kesibukan masing-masing dan kepenatan hidup yang kain mendera. Hidup mereka menjadi membosankan. Kenyataan hidup yang kejam membuat mereka mulai menyisihkan impian dan cinta satu sama lain. Mereka mulai bertengkar dan pertengkaran itu mulai menjadi semakin panas. Pada suatu hari, pada akhir sebuah pertengkaran, Dara lari keluar rumah. Saat tiba di seberang jalan, dia berteriak,
"Kamu nggak cinta lagi sama aku!" Raka sangat membenci ketidakdewasaan Dara dan secara spontan balik berteriak,
"Aku menyesal kita menikah! Kamu ternyata bukan tulang rusukku!" Tiba-tiba Dara menjadi terdiam ,
Berdiri terpaku untuk beberapa saat. Matanya basah. Ia menatap Raka, seakan tak percaya pada apa yang telah dia dengar. Raka menyesal akan apa yang sudah dia ucapkan. Tetapi seperti air yang telah tertumpah, ucapan itu tidak mungkin untuk diambil kembali. Dengan berlinang air mata, Dara kembali ke rumah dan mengambil barang-barangnya, bertekad untuk berpisah. "Kalau aku bukan tulang rusukmu, biarkan aku pergi. Biarkan kita berpisah dan mencari pasangan sejati masing-masing."
Lima tahun berlalu. Raka tidak menikah lagi, tetapi berusaha mencari tahu akan kehidupan Dara. Dara pernah ke luar negeri, menikah dengan orang asing, bercerai, dan kini kembali ke kota semula. Dan Raka yang tahu semua informasi tentang Dara, merasa kecewa, karena dia tak pernah diberi kesempatan untuk kembali, Dara tak menunggunya. Dan di tengah malam yang sunyi, saat Raka meminum kopinya, ia merasakan ada yang sakit di dadanya. Tapi dia tidak sanggup mengakui bahwa dia merindukan Dara. Suatu hari, mereka akhirnya kembali bertemu. Di airport, di tempat ketika banyak terjadi pertemuan dan perpisahan, mereka dipisahkan hanya oleh sebuah dinding pembatas, mata mereka tak saling mau lepas.
Raka : Apa kabar?
Dara : Baik... ngg.., apakah kamu sudah menemukan rusukmu yang hilang?
Raka : Belum.
Dara : Aku terbang ke New York dengan penerbangan berikut.
Raka : Aku akan kembali 2 minggu lagi. Telpon aku kalau kamu sempat. Kamu tahu nomor telepon kita, belum ada yang berubah. Tidak akan ada yang berubah.
Dara tersenyum manis, lalu berlalu.
"Good bye...."
Seminggu kemudian, Raka mendengar bahwa Dara mengalami kecelakaan, mati. Malam itu, sekali lagi, Raka mereguk kopinya dan kembali merasakan sakit di dadanya. Akhirnya dia sadar bahwa sakit itu adalah karena Dara, tulang rusuknya sendiri, yang telah dengan bodohnya dia patahkan.

"Kita melampiaskan 99% kemarahan justru kepada orang yang paling kita cintai. Dan akibatnya seringkali adalah fatal"




Setelah membaca cerita di atas...


Segala puji bagi Allah Subhanahu wata’ala. Kita memuji, memohan pertolongan, dan meminta ampun kepadaNya. Kita berlindung kepada Allah dari kejahatan diri dan keburukan amal perbuatan. Barang siapa diberi petunjuk oleh Allah Subhanahu wa ta’ala maka tidak ada yang bisa menyesatkannya, dan barang siapa disesatkan oleh Allah maka tidak ada yang bisa menunjukinya. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah semata, tiada sekutu bagiNya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad itu adalah hamba dan RasulNya.


Sebuah catatan yang berisi tentang curhatan seorang akhwat yang mana berada dalam kegelisahan karena ada seorang ikhwan yang mengungkapkan cinta kepadanya. Berikut isi catatannya,

Kau bilang “ana akan ta’aruf dengan ukhti beberapa tahun lagi ketika ukhti sudah lulus”

Buat apa kau katakan itu skrg akhi...

Jika belum siap adalah jawabannya,, lalu kenapa harus kau katakan rencanamu itu padaku..

Tidak taukah engkau,, kata2mu itu bisa menggoyahkan kekokohan iman yang sedang susah payah ku bangun..

Lalu ketika kau bilang “ana ingin jaga hati ana untuk ta’aruf dengan ukhti nanti”

Lantas, apakah dgn kau bilang begitu dan sering menelfonku itu artinya tidak mengotori hatimu?

Kau memang sudah seharusnya menjaga hatimu sampai tiba waktunya nanti untuk kau berikan seutuhnya kepada wanita yang berhak.. tapi kan belum tentu wanita itu aku...

Ketika kau bilang.. “ati2 ya di sana.. jaga diri baik2..”

Bukannya aku ga suka diperhatiin dan dijagain..

Tp cukuplah Allah yg menjagaku..

Dan tanpa kau bilang begitu pun aku akan berhati2 di sini dan menjaga diriku dengan baik untuk suamiku nanti.. dan itu belum tentu kau..

Ketika kau bilang “ana harap ukhti tidak ta’aruf dengan org lain sebelum ana”

Kurang jelaskah jawabanku,, aku tidak bisa menjanjikan apa pun.. karena aku tak tau apa yang akan terjadi padaku nanti...


Sebuah kutipan yang perlu kau ketahui:

Wahai akhwat, jika datang kepadamu laki-laki baik-baik yang melamarmu, maka bisa jadi dialah pangeranmu.

Wahai ikhwan, jika gadis pujaanmu telah dilamar orang, maka lupakanlah. Karena bisa jadi dia bukan permaisurimu.

Aku yakin kau tau janji Allah.. laki-laki yang baik hanya untuk wanita yang baik..

Maka kalau memang nantinya kita tak berjodoh,, ya itu artinya barangkali aku tak cukup baik untukmu.. pastinya ada wanita lain yang baik untukmu..

Dan yakinlah... kalau memang aku bukan tulang rusukmu,, maka apa yang kau rencanakan itu tak akan pernah terjadi...

Dan jika aku ini tulang rusukmu, maka tanpa kau minta aku untuk tidak ta’aruf dengan orang lain pun, aku akan tetap jadi pendampingmu..

Karena ku yakin,, tulang rusuk tidak akan tertukar..

Dari catatan diatas, secara global dapat diambil 3 pelajaran berharga antara lain,

1. Untuk para ikhwan, Janganlah tergesa-gesa mengungkapkan cinta kepada seseorang yang kita cintai. Apalagi bila belum siap lahir dan batin, janganlah ungkapkan cinta kepada lembutnya hati seorang akhwat. Tergesa-gesa tidak akan menyelesaikan masalah dan hanya memperburuk keadaan. Oleh karena itu bersabarlah dalam perkara ini dengan perkara-perkara yang ma’ruf. Mulai dari menyibukkan diri dengan majelis ilmu. Setiap orang butuh ilmu untuk beramal. Keluarga yang kita pimpin nantinya juga membutuhkan pendidikan agama yang sesuai dengan penafsiran para sahabat. Perkara ini juga adalah tanggung jawab kita yang mana akan ditanya Allah ta’ala tentang kepemimpinan kita di dalam keluarga kelak. Bagaimana jika seorang pemimpin di dalam keluarga jauh dari Al-Qur’an dan As-sunnah?? Na’udzubillahi min dzalik. Sabar dalam hal ini juga bisa dengan melakukan puasa. Tatkala seseorang niat dan bersungguh-sungguh berpuasa maka dia akan menjaga dirinya dari perkara-perkara yang membatalkan puasa dan yang menghilangkan pahala puasa, salah satunya adalah menjaga timbulnya syahwat yang mengotori hati. Allah berfirman,


“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu” (QS. Al-baqarah: 45)


Untuk para akhwat, janganlah berlembut-lembut hati dalam menyikapi cinta yang diungkapkan ikhwan kepadamu sehingga terjerumus ke dalam perkara yang tidak diridloi Allah ta’ala yang biasa disebut dengan pacaran, bermesrahan, dsb yang mana hakikatnya adalah mendekati zina (Secara maknawi). Allah berfirman


“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (Al-Isra: 32)

Cara penyampaian menolak hendaknya dengan cara yang baik. Tatkala ada ikhwan yang mengungkapkan cintanya kepadamu dan ikhwan tersebut belum siap lahir dan batin maka tolaklah dengan cara yang baik, yang disyariatkan Allah dan rosulnya. Allah berfirman,

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri” (QS. An-nisa’: 36)

2. Hendaknya mempersiapkan diri secara lahir dan batin sebelum mengungkapkan cinta kepada lawan jenis.

3. Jodoh tidak akan pernah tertukar karena telah ditentukan oleh Allah ta’ala sejak kita di dalam kandungan. Maka dari itu janganlah khawatir jodoh kita diambil orang. Berbuatlah yang terbaik sesuai dengan Al-qur’an dan As-sunnah, jalinlah silaturakhim sesuai syariat, maka jodoh yang baik pula kelak akan menjadi milik kita. Allah berfirman,


“Perempuan-perempuan yang keji adalah untuk yang keji pula dan laki-laki yang keji untuk wanita-wanita yang keji, sedangkan wanita-wanita yang baik untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik juga diperuntukkan bagi perempuan-perempuan yang baik….” (QS. An-nuur: 26)

Semoga tulisan ini bermanfaat bagi pembaca sekalian. Semoga kita senantiasa dijauhkan oleh Allah ta’ala dari fitnah syahwat dan rasa khawatir jodoh kita diambil orang. TULANG RUSUK TIDAK AKAN PERNAH TERTUKAR, JODOH TIDAK AKAN PERNAH TERTUKAR.